Bel pelajaran terakhir berbunyi, aku segera membereskan buku-buku dan memasukkan ke dalam tas. Selesai berdo’a aku segera menghambur ke luar kelas bersama teman-temanku lainnya. Aku berlari antusias keluar dari kelas menuju gerbang sekolah tempat dimana bunda biasa menjemputku. Tapi belum sampai di gerbang, aku sudah terengah-engah, jantungku berdebar keras, seluruh badanku berkeringat, aku pingsan. Tersadarnya aku setelah pingsanku, tiba-tiba saja aku sudah berada di ruangan serba putih yang sangat menyilaukanku, Rumah Sakit. Kulihat bunda sedang tertidur lelah disofa kamar rawat inapku. Selalu saja begini, aku seorang gadis lemah jantung dengan bodohnya berlari hingga pingsan karena jantungku tidak kuat. Aku hanya ingin merasakan angin menerpa wajahku segar. Hanya itu tapi jantungku telah merobohkan keinginanku. Tak lama kemudian bunda terbangun dari tidur lelahnya, menatapku dengan sorot mata keibuan. Bunda beranjak dari sofa dan menghampiriku.
“Bunda.. mana Ayah ?” tanyaku pada Bunda
“Ayah masih sibuk di kantor, dinda.. Ada proyek baru yang harus dikerjakan” jawab Bunda
Ayah memang keterlaluan, disaat aku berbaring lemah disini ayah masih sempat-sempatnya memikirkan pekerjaannya. Kuingat 3tahun yang lalu saat itu aku baru berusia 14 tahun. Disaat aku sedang tidak bisa tidur Ayah mengajakku ke loteng rumah. Disana aku dengan manjanya merebahkan kepalaku dipangkuan Ayah agar aku bisa melihat langit luas dengan bintang malam yang berpijar
“Ayah, bila Tuhan mengizinkanku untuk hidup lebih lama dengan jantung lemahku, aku ingin sekali selalu berada disisi orang-orang yang kusayang. Disisi Ayah, Bunda, dan semua orang yang selalu menyayangiku” ungkapku pada ayah.
“Mayang.. jantungmu masih kuat sampai kamu mendapatkan pendamping hidupmu nak.. masih kuat sampai ayah dan bunda menghadap ilahi.. masih kuat sampai waktumu habis dan berakhir di ranjang empuk dirumah megahmu .. percayalah sayang” kata ayah sembari tersenyum.
Lalu Ayah memelukku erat, mengusap lembut kepalaku hingga akhirnya aku tertidur. Tapi itu beberapa tahun lalu ketika perusahaan ayah belum sempat bangkrut. Setelah itu, ayah hanya menjadi pegawai kantor biasa yang sering lembur sehingga untuk bertemu dengannya saja aku merasa kesusahan. Sampai pada akhirnya aku berfikir ayah tidak sayang lagi kepadaku anak semata wayangnya.
Suster yang memasuki kamar rawat inapku cukup untuk membangunkanku dari lamunanku barusan. Bunda diminta menghadap dokter segera.
“Mayang.. bunda mau keruangan dokter sebentar ya nak” pamit bunda.
Kini hanya aku yang ada diruangan ini, bosan rasanya harus bolak-balik ke Rumah Sakit rawat inap pula. Aku menerka-nerka apa yang sebenarnya akan dibicarakan dokter dan bunda. Ah pasti hanya kapan aku boleh pulang. Tapi aku salah, ternyata dokter memberitahu bunda bahwa jantungku kini sudah sangat lemah keadaannya dan mungkin tidak akan bertahan lama, untungnya saja ada pendonor jantung yang bersedia memberikan jantungnya kepadaku.
“Siapa orang bodoh yang mau memberi jantungnya kepadaku ? sungguh tidak masuk akal bahwa ada orang yang mau memberikan sisa hidupnya untukku” gumamku.
Bulan depan akan kulaksanakan operasi itu. Tidak sabar rasanya menanti jantung baruku.
*****
Tibalah saatnya aku untuk dioprasi. Tadi pagi sebelum aku berangkat menuju Rumah Sakit, tidak seperti biasanya Ayah mencium keningku lembut. Bunda juga diciumnya. Ada desir aneh saat itu. Tapi sudahlah mungkin hanya perasaanku saja. Oprasiku berjalan lancar, tapi Dokter tutup mulut mengenai siapa yang medonorkan jantungnya itu. Bunda pun tidak diberitahu olehnya.
Malam hari setelah oprasi tiba-tiba saja ada kabar yang sesungguhnya membuatku sangat bersedih, Ayah meninggal. Tapi untuk apa aku bersedih toh selama ini bila aku kesakitan seperti ini Ayah lebih memilih untuk tetap dikantor bahkan untuk mengecek keadaanku saja tidak, jadi aku memilih untuk acuh terhadap kematiannya. Esoknya aku sudah diperbolehkan pulang dengan catatan aku tidak boleh terlalu senang tapi juga tidak boleh terlalu sedih. Sebelum pulang, dokter memberitahu kepada aku dan bunda bahwa yang telah dengan bodohnya untuk mendonorkan jantungnya ialah Ayahku sendiri. Aku hanya berdiri mematung dengan buliran air mata yang mulai menitik jatuh, sedangkan bunda sepertinya berusaha untuk tetap tegar walau kulihat ada kilatan rapuh pada matanya. Perjalanan pulang terasa sangat panjang, mataku mulai membengkak akibat menangis terlalu lama. Sesampainya dirumah, bunda mengambil air wudhu dan langsung sholat. Kulihat bunda menitikan air mata disepanjang sholatnya. Sungguh kuingin memeluk bunda untuk menguatkannya, tapi ku takut itu akan mengganggu sholatnya jadi kuputuskan untuk nanti saja setelah bunda menyelesaikan rakaat sholatnya. Telah lama kutunggu bunda selesai sholat tapi mengapa tak juga kutemukan sosok lembut itu, hampir satu jam lamanya bunda sholat. Bergegas aku menyusulnya di mushola, kulihat bunda sedang bersujud lalu kudekati saja bunda dan seketika itu telah kutemukan bunda meninggal bersama cintanya pada ayah.
Kini aku berada dihadapan kedua pusara ayah dan bunda. rasanya ingin aku menyusul mereka agar aku dapat kembali berada dipelukannya tapi tak mungkin bagiku untuk menyia-nyiakan hidupku karna jantung ayah kini tlah menemani hariku dan cintanya pun tlah mengalir didarahku. Dengan mata sembap, kuletakkan bunga Lily di pusara ayah dan juga bunda.
“Doaku kan mengantar kalian kepada indahnya surgawi..” kata ku.
****
Delapan tahun tlah berlalu tanpa ayah bunda disiku. Kini aku tlah menyelesaikan semua studiku dan bekerja di salah satu bank swasta sampai seseorang meminangku, Arya. Beberapa hari lagi kan kulangsungkan pernikahan bersamanya tapi belum sampai pada saat bahagia itu, tiba-tiba saja Arya batuk-batuk dan mengeluh bahwa dia susah bernafas karena pada dada bagian kiri selalu sakit dan keringatnya selalu deras keluar. Keesokan harinya ketika tlah kurencanakan untuk foto pre-wedding bersama Arya ketika itu pula kutemukan Arya jatuh terjerembab di teras rumahnya sendiri. Tergopoh-gopoh aku meminta pertolongan warga sekitar untuk memanggil ambulans dan membawa Arya dengan segera. Ya Tuhan jangan biarkan aku kembali terpuruk. Selamatkanlah Arya ya Tuhaaann.... Doaku terus-menerus ku panjatkan sepanjang perjalananku ke rumah sakit.
Sesampainya aku disana, Arya langsung mendapat perawatan teknis sebagaimana mestinya. Kulihat dari jendela ICCU tubuh Arya penuh dengan segala macam alat bantu untuk menopang kelemahannya itu, fikiranku melayang jauh mengamati saat bahagiaku bersama Arya dan akankah saat ini aku akan kembali kehilangan orang yang kusayangi ? dengan segala ketakutanku tiba-tiba saja seorang suster mengagetkanku yang tertuliskan nama Diana di nametag miliknya.
"Mbak mohon menghadap dokter sekarang untuk mengetahui keadaan Mas Arya" kata suster tersebut. Seketika kuusap air mataku yang tak kusadari tlah membanjiri pipiku.
"Baiklah sus, saya segera menghadap" kataku.
Dalam perjalananku ke ruangan Dokter yang menangani Arya, otakku sudah berkecamuk dengan segala macam ketakutan. Kini tiba aku di daun pintu ruangan praktek dokter. Dengan ragu ku ketuk pintu itu perlahan lalu aku masuk keruangan tersebut.
"Silahkan masuk mbak.. akan saya jelaskan perihal keadaan Arya" kata dokter dengan ramah. Aku hanya mengangguk dan tersenyum getir.
" Pembuluh darah di otak dan jantung Mas Arya pecah pada tadi pagi dan kini Mas Arya dalam keadaan comma. Kami segenap tim medis tidak tahu sampai kapan Mas Arya akan comma dan kami juga menegaskan bahwa tidak selamanya hidup Mas Arya akan selalu ditopang dengan alat bantu medis "
aku menangis tidak percaya. Ya rabb kapan engkau membiarkanku mengecap bahagia abadimu ? aku akan kembali rapuh jika kehilangan Arya ya rabb tolong dengarkan pintaku.. doaku setulus hati.
****
Satu bulan lamanya aku dengan setia menunggu hari dimana Arya akan siuman kembali tapi kapan waktu itu datang ? hanya hampa yang menemaniku dengan pertanyaanku itu selagi Arya belum siuman. Ketika itu aku sedang menangis terduduk di Rumah Sakit dan tiba-tiba saja ada seorang anak kecil menghampiriku dan berkata
"Tante.. iklaskan saja om itu.. kasihan kan.. tuh om nya sedang membelai rambut tante dan meminta tante berhenti menangis"
Aku terperanjat mendengar kata-kata anak kecil barusan.. Apa iya harus kurelakan Arya ? Ah mungkin itu hanya celotehan iseng anak-anak, gumamku dalam hati.
Mendung menyelimuti langit hari ini begitu juga menyelimuti suasana hatiku saat ini ketika kudengar kabar bahwa kondisi Arya menurun drastis, aku menangis lagi ! ya rabb mungkin ini waktunya.....
"Arya sayangku... kuikhlaskan kamu pergi sayang... tempatilah surgamu yang telah menantimu sayang... kelak ku akan menemanimu disana bila saatnya tiba" kukecup lembut dahinya dan seketika itu alat pendeteksi jantung Arya pun berbunyi 'Tiiiiiiiiiiiittt----' yang menandakan Arya meninggal.. Tangisku tumpah ruahh aku tak sanggup menahannya lagi..
Aku memang memilikinya
Memiliki raganya
Memiliki cintanya
Memiliki hatinya
Memiliki kasih putihnya
Tapi…
Tidak dengan jalan hidupnya
Tidak dengan jiwanya
Tidak dengan hidup matinya
Dia hanya punya Tuhan seutuhnya
Selama – lamanya hanya milik Tuhan
Kini kupandang 3 pusara itu.. pusara ayah, bunda, dan juga arya tentunya. Ku letakkan 3 bunga Lily di masing-masing pusara. Kupanjatkan doa pada Yang Kuasa dan untuk kesekian kalinya pula aku kembali menangis. Demi Ayah, Bunda, dan Arya lah aku bertahan hidup, maka dari itu aku putuskan untuk fokus pada karierku dan membiarkan Arya menjadi cinta pertama dan terakhir dihidupku.
******
25 tahun tlah berlalu.. Usiaku pun tlah renta... Aku telah memimpin sebuah perusahaan besar.. Dengan keadaanku yang tidak menikah dan tidak mempunyai penerus kuputuskan saja untuk mengadopsi anak dari salah satu pesantren terkemuka, anak itu bernama Awan. Kubimbing dia agar mampu menjadi pemimpin hebat yang loyal terhadap anak buahnya. Setelah merasa cukup percaya kepada Awan, langsung saja kuberikan tahtaku sebagai Presiden Direktur perusahaan kepada Awan anak angkatku.
Malam ini aku bersantai dirumah megahku. Perlahan kubuka kardus berisi album foto kenanganku bersama Ayah, Bunda, dan Arya. Kulihat satu persatu foto yang ada didalamnya sambil berjalan ke kamar tidurku. Kurebahkan badanku diatas ranjang empuk dikamarku. Ku dekap erat album foto itu. Secara perlahan ku tutup mataku, secara perlahan pula nafasku serasa sesak dan kulihat dihadapanku remang-remang wajah Arya tersenyum. Tangannya terulur untukku. Aku pun membalas uluran tangan itu. Dan saat itu pula Arya membawaku terbang bebas meninggalkan ragaku yang terbaring lemah diatas ranjang empuk dikamar tidurku dirumah megahku.